Penerapan Asas Piercing The Corporate Veil Dalam
Perlindungan Saham Minoritas Menurut UU No. 1 Tahun 1995
1. Pendahuluan
Bentuk
perseroan terbatas atau PT merupakan bentuk yang lazim dan banyak
dipakai dalam dunia usaha di Indonesia karena PT merupakan asosiasi
modal dan badan hukum yang mandiri. Sebutan atau bentuk PT ini datang
dari hukum dagang Belanda dengan singkatan NV atau Naamloze
Vennotschaap, yang singkatannya juga lama digunakan di Indonesia sebelum
diganti dengan singkatan PT.
Sebenarnya
bentuk ini berasal dari Perancis dengan singkatan SA atau Societe
Anonyme yang secara harfiah artinya “perseroan tanpa nama”. Maksudnya
adalah bahwa PT itu tidak menggunakan nama salah seorang atau lebih di
antara para pemegang sahamnya, melainkan memperoleh namanya dari tujuan
perusahaan saja (Pasal 36 KUHD).
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 dalam pasal 1 ayat (1) memberi
pengertian atau definisi tentang perseroan terbatas sebagai berikut:
Perseroan
Terbatas atau PT yang selanjutnya disebut perseroan adalah Badan Hukum
yang didirikan berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan yang memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.
Adapun ciri-ciri dari suatu perseroan adalah:
Pemegang
saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan
yang dibuat atas nama perseroan, dan Pemegang saham tidak bertanggung
jawab atas kerugian perseroan melebihi dari nilai saham yang telah
diambilnya, dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.
Dengan perkataan lain bahwa suatu perseroan merupakan badan hukum yang mandiri yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Sebagai asosiasi modal;
b. Kekayaan dan hutang perseroan adalah terpisah dari kekayaan dan hutang pemegang saham;
c. Tanggung jawab pemegang saham adalah terbatas pada yang disetorkan;
d. Adanya pemisahan fungsi antara pemegang saham dan pengurus/Direksi;
e. Mempunyai komisaris yang berfungsi sebagai pengawas;
f. Kekuasaan tertinggi berada pada Rapat Umum Pemegang Saham atau yang biasa disingkat dengan RUPS.
Ketentuan
sebagaimana disebutkan di atas dapat dikatakan sebagai ciri utama,
namun demikian, dalam hal-hal tertentu tidak menutup kemungkinan bahwa
tanggung jawab terbatas pemegang saham tersebut bisa hapus. Yang
dimaksud dengan “hal-hal tertentu” antara lain apabila terbukti bahwa
terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta
kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai
alat yang dipergunakan oleh pemegang saham untuk memenuhi tujuan
pribadinya.
Dengan
perkataan lain bahwa ketentuan atau ciri perseroan tersebut di atas
yaitu pertanggungjawaban terbatas pemegang saham, tidak berlaku apabila:
- Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
- Pemegang saham yang bersangkutan, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk
kepentingan pribadi;
- Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan tersebut, atau;
- Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung atau tidak langsung,
secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan
kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan.
Hal tersebut
dikenal dengan istilah “piercing the corporate veil” yang secara harfiah
dapat diartikan sebagai “membuka cadar perseroan”. Dalam Black’s Law
Dictionary dikatakan merupakan suatu proses peradilan di mana pengadilan
akan mengabaikan kekebalan yang biasa dari pengurus perseroan atau
badan hukum (entities), dari tanggung jawab atas kesalahan atau
pelanggaran dalam melakukan kegiatan perseroan, dan tanggung jawab
pribadi yang dikenakan kepada pemegang saham, para Direktur dan para
pejabat perseroan.
2. Pembahasan
Bahwa
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 menganut prinsip piercing the
corporate veil terlihat dari pasal-pasal dibawah ini yang berlaku baik
bagi pemegang saham, direksi maupun komisaris. Bagi pemegang saham yang
memiliki tanggung jawab terbatas sebagaimana disebutkan dalam pasal 3
ayat (1) menjadi tidak berlaku dalam hal yang dinyatakan pada pasal 3
ayat (2), yaitu:
(1)
Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas
perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab
atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila:
a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum, belum atau tidak terpenuhi;
b.
Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan
pribadi;
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau;
d.
Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan
kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan.
Dengan
demikian terlihat bahwa dalam hal-hal tertentu atau jika terjadinya
pembauran harta pribadi pemegang saham dengan harta kekayaan perseroan
sehingga tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas
dari pemegang saham.
Sebelum
perseroan mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman, maka tanggung
jawab pemegang saham, direksi, dan komisaris adalah tidak terbatas.
Namun begitu mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman maka tanggung
jawab tersebut menjadi terbatas, tetapi tidak dengan Direksi perseroan
sebagaimana terlihat dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995:
Selama
pendaftaran dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 22 (tentang pendaftaran perusahaan) belum dilakukan, maka Direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum
yang dilakukan perseroan.
Disamping
itu tanggung jawab Direksi (dan Komisaris) juga menjadi tidak terbatas
dalam hal membuat dokumen perhitungan tahunan yang tidak benar dan
menyesatkan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 60 ayat (3) dan (4):
(3)
Dalam hal dokumen perhitungan tahunan yang disediakan ternyata tidak
benar dan atau menyesatkan, anggota Direksi dan Komisaris secara
tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan;
(4)
Anggota Direksi dan Komisaris dibebaskan dari tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) apabila terbukti bahwa keadaan
tersebut bukan karena kesalahan-nya.
Tanggung
jawab Direksi pada dasarnya dilandasi oleh 2 (dua) prinsip penting,
yaitu prinsip yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan
kepadanya oleh perseroan (fiduciary duty) dan prinsip yang merujuk pada
kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi (duty of skill and care).
Kedua prinsip ini menuntut Direksi untuk bertindak secara hati-hati dan
disertai dengan itikad baik, yang semata-mata untuk kepentingan dan
tujuan perseroan dimaksud. Pelanggaran terhadapnya akan membawa
konsekuensi yang berat bagi Direksi, karena Direksi dapat dimintai
pertanggungjawaban secara pribadi.
Komisaris
yang bertugas menjadi pengawas kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan
perseroan juga tidak terlepas dari prinsip-prinsip yang sama sebagaimana
yang diterapkan kepada Direksi.
Apabila
di dalam pelaksanaan dan/atau berjalannya perseroan Direksi dan/atau
Komisaris melakukan kesalahan pelanggaran atas tugas-tugasnya, maka
sebagaimana pada pasal 85 ayat (1) dan (2), 90 ayat (2) dan 98 (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dapat dikenakan sanksi.
Pasal 85 ayat (1) dan (2)
(1)
Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan;
(2)
Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila
yang bersangkutan bersalah dan lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
Pasal 90 ayat (2)
(2)
Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi
dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat
kepailitan tersebut, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas kerugian itu;
Pasal 98 ayat (1)
(1) Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan;
Dalam
pelaksanaannya apabila Direksi maupun Komisaris melakukan kesalahan dan
kelalaian dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dijelaskan di atas,
maka akan timbul perlindungan kepentingan bagi pemilik saham minoritas.
Pemilik saham minoritas dapat melaksanakan dan/atau upaya hukum yang
lazim disebut dengan “derivative action” atau derivative right (hak
derivatif) sebagaimana disebutkan dalam pasal 85 ayat (3) dan pasal 98
ayat (2):
Atas
nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu
per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi
(Komisaris) yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian
pada perseroan;
Pemegang
saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara yang sah atau suatu jumlah yang lebih kecil
sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan, dapat meminta
untuk diselenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (Pasal 66 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995).
Tindakan
lain yang dapat diambil oleh pemegang saham minoritas ini adalah
meminta langsung kepada perseroan tentang data atau keterangan yang
diperlukan mengenai adanya dugaan kesalahan dan kelalaian Direksi (pasal
110 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995);
Perseroan
melakukan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan pemegang saham
atau pihak ketiga, atau; Anggota Direksi atau Komisaris melakukan
perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham
atau pihak ketiga;
Pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mengajukan
permohonan secara tertulis beserta alasannya ke Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan;
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan:
a.
Pemegang saham atas nama diri sendiri atau atas nama perseroan apabila
mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara yang sah;
b.
Pihak lain yang dalam Anggaran Dasar perseroan atau perjanjian dengan
perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksanaan,
atau;
Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.
3. Kesimpulan
Penerapan
piercing the corporate veil sebenarnya bukanlah hal yang sederhana
karena memerlukan pembuktian yang dalam kasus-kasus tertentu tidaklah
mudah, yang pada akhirnya perlu di ingatkan bahwa liabilitas perseroan
itu sendiri adalah tidak terbatas sebagaimana sering di ucapkan bahwa
liabilitas perseroan untuk membayar hutangnya adalah tidak terbatas,
dalam arti bahwa perseroan itu harus membayar semua hutang yang ditagih
kepada perseroan tersebut, sepanjang aset perseroan itu cukup untuk
memenuhinya. Keterbatasan liabilitas, kecuali dalam keadaan tertentu
yang telah diuraikan hanyalah terbatas pada pribadi pemilik perseroan
dan bukan pada perseroan itu sendiri.
Tanggung
jawab pemegang saham hanya sebatas pada nilai saham yang mereka miliki,
demikian pula kepada para pengurus perseroan. Namun tanggung jawab yang
terbatas tersebut dapat menjadi tidak terbatas (unlimited liability)
apabila para pengurus perseroan melakukan kelalaian dan kesalahan
sebagaimana tugas-tugas dan tanggung jawab yang sudah diberikan kepada
mereka.
Perlindungan
hukum terhadap pemegang saham minoritas sudah jelas terlihat pada
pasal-pasal di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, namun hal ini belumlah
menjadi cukup apabila para pelaku bisnis dan atau para pemilik saham
mayoritas maupun para pengurus perseroan betul-betul paham dan selalu
tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negeri
Indonesia ini.