Post Terbaru

Tuesday, 3 February 2015

PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL


Penerapan Asas Piercing The Corporate Veil Dalam 
Perlindungan Saham Minoritas Menurut UU No. 1 Tahun 1995
1. Pendahuluan
Bentuk perseroan terbatas atau PT merupakan bentuk yang lazim dan banyak dipakai dalam dunia usaha di Indonesia karena PT merupakan asosiasi modal dan badan hukum yang mandiri. Sebutan atau bentuk PT ini datang dari hukum dagang Belanda dengan singkatan NV atau Naamloze Vennotschaap, yang singkatannya juga lama digunakan di Indonesia sebelum diganti dengan singkatan PT.

Sebenarnya bentuk ini berasal dari Perancis dengan singkatan SA atau Societe Anonyme yang secara harfiah artinya “perseroan tanpa nama”. Maksudnya adalah bahwa PT itu tidak menggunakan nama salah seorang atau lebih di antara para pemegang sahamnya, melainkan memperoleh namanya dari tujuan perusahaan saja (Pasal 36 KUHD).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 dalam pasal 1 ayat (1) memberi pengertian atau definisi tentang perseroan terbatas sebagai berikut:

Perseroan Terbatas atau PT yang selanjutnya disebut perseroan adalah Badan Hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Adapun ciri-ciri dari suatu perseroan adalah:
Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan, dan Pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi dari nilai saham yang telah diambilnya, dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.

Dengan perkataan lain bahwa suatu perseroan merupakan badan hukum yang mandiri yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Sebagai asosiasi modal;
b. Kekayaan dan hutang perseroan adalah terpisah dari kekayaan dan hutang pemegang saham;
c. Tanggung jawab pemegang saham adalah terbatas pada yang disetorkan;
d. Adanya pemisahan fungsi antara pemegang saham dan pengurus/Direksi;
e. Mempunyai komisaris yang berfungsi sebagai pengawas;
f. Kekuasaan tertinggi berada pada Rapat Umum Pemegang Saham atau yang biasa disingkat dengan RUPS.

Ketentuan sebagaimana disebutkan di atas dapat dikatakan sebagai ciri utama, namun demikian, dalam hal-hal tertentu tidak menutup kemungkinan bahwa tanggung jawab terbatas pemegang saham tersebut bisa hapus. Yang dimaksud dengan “hal-hal tertentu” antara lain apabila terbukti bahwa terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan oleh pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.

Dengan perkataan lain bahwa ketentuan atau ciri perseroan tersebut di atas yaitu pertanggungjawaban terbatas pemegang saham, tidak berlaku apabila:
  • Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
  • Pemegang saham yang bersangkutan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
  • Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan tersebut, atau;
  • Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung atau tidak langsung, secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan.

Hal tersebut dikenal dengan istilah “piercing the corporate veil” yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “membuka cadar perseroan”. Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan merupakan suatu proses peradilan di mana pengadilan akan mengabaikan kekebalan yang biasa dari pengurus perseroan atau badan hukum (entities), dari tanggung jawab atas kesalahan atau pelanggaran dalam melakukan kegiatan perseroan, dan tanggung jawab pribadi yang dikenakan kepada pemegang saham, para Direktur dan para pejabat perseroan.

2. Pembahasan
Bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 menganut prinsip piercing the corporate veil terlihat dari pasal-pasal dibawah ini yang berlaku baik bagi pemegang saham, direksi maupun komisaris. Bagi pemegang saham yang memiliki tanggung jawab terbatas sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 ayat (1) menjadi tidak berlaku dalam hal yang dinyatakan pada pasal 3 ayat (2), yaitu:

(1) Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya;

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila:
a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum, belum atau tidak terpenuhi;
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau;
d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan.

Dengan demikian terlihat bahwa dalam hal-hal tertentu atau jika terjadinya pembauran harta pribadi pemegang saham dengan harta kekayaan perseroan sehingga tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab terbatas dari pemegang saham.

Sebelum perseroan mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman, maka tanggung jawab pemegang saham, direksi, dan komisaris adalah tidak terbatas. Namun begitu mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman maka tanggung jawab tersebut menjadi terbatas, tetapi tidak dengan Direksi perseroan sebagaimana terlihat dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995:

Selama pendaftaran dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 (tentang pendaftaran perusahaan) belum dilakukan, maka Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan perseroan.

Disamping itu tanggung jawab Direksi (dan Komisaris) juga menjadi tidak terbatas dalam hal membuat dokumen perhitungan tahunan yang tidak benar dan menyesatkan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 60 ayat (3) dan (4):

(3) Dalam hal dokumen perhitungan tahunan yang disediakan ternyata tidak benar dan atau menyesatkan, anggota Direksi dan Komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan;

(4) Anggota Direksi dan Komisaris dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) apabila terbukti bahwa keadaan tersebut bukan karena kesalahan-nya.

Tanggung jawab Direksi pada dasarnya dilandasi oleh 2 (dua) prinsip penting, yaitu prinsip yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan kepadanya oleh perseroan (fiduciary duty) dan prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan Direksi (duty of skill and care). Kedua prinsip ini menuntut Direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai dengan itikad baik, yang semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan dimaksud. Pelanggaran terhadapnya akan membawa konsekuensi yang berat bagi Direksi, karena Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi.

Komisaris yang bertugas menjadi pengawas kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan juga tidak terlepas dari prinsip-prinsip yang sama sebagaimana yang diterapkan kepada Direksi.
Apabila di dalam pelaksanaan dan/atau berjalannya perseroan Direksi dan/atau Komisaris melakukan kesalahan pelanggaran atas tugas-tugasnya, maka sebagaimana pada pasal 85 ayat (1) dan (2), 90 ayat (2) dan 98 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dapat dikenakan sanksi.
Pasal 85 ayat (1) dan (2)

(1) Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan;
(2) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah dan lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
Pasal 90 ayat (2)
(2) Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu;
Pasal 98 ayat (1)
(1) Komisaris wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan;

Dalam pelaksanaannya apabila Direksi maupun Komisaris melakukan kesalahan dan kelalaian dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dijelaskan di atas, maka akan timbul perlindungan kepentingan bagi pemilik saham minoritas. Pemilik saham minoritas dapat melaksanakan dan/atau upaya hukum yang lazim disebut dengan “derivative action” atau derivative right (hak derivatif) sebagaimana disebutkan dalam pasal 85 ayat (3) dan pasal 98 ayat (2):

Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi (Komisaris) yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan;

Pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah atau suatu jumlah yang lebih kecil sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan, dapat meminta untuk diselenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995).

Tindakan lain yang dapat diambil oleh pemegang saham minoritas ini adalah meminta langsung kepada perseroan tentang data atau keterangan yang diperlukan mengenai adanya dugaan kesalahan dan kelalaian Direksi (pasal 110 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995);

Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan pemegang saham atau pihak ketiga, atau; Anggota Direksi atau Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga;
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan;

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan:
a. Pemegang saham atas nama diri sendiri atau atas nama perseroan apabila mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah;
b. Pihak lain yang dalam Anggaran Dasar perseroan atau perjanjian dengan perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksanaan, atau;
Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.

3. Kesimpulan
Penerapan piercing the corporate veil sebenarnya bukanlah hal yang sederhana karena memerlukan pembuktian yang dalam kasus-kasus tertentu tidaklah mudah, yang pada akhirnya perlu di ingatkan bahwa liabilitas perseroan itu sendiri adalah tidak terbatas sebagaimana sering di ucapkan bahwa liabilitas perseroan untuk membayar hutangnya adalah tidak terbatas, dalam arti bahwa perseroan itu harus membayar semua hutang yang ditagih kepada perseroan tersebut, sepanjang aset perseroan itu cukup untuk memenuhinya. Keterbatasan liabilitas, kecuali dalam keadaan tertentu yang telah diuraikan hanyalah terbatas pada pribadi pemilik perseroan dan bukan pada perseroan itu sendiri.

Tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas pada nilai saham yang mereka miliki, demikian pula kepada para pengurus perseroan. Namun tanggung jawab yang terbatas tersebut dapat menjadi tidak terbatas (unlimited liability) apabila para pengurus perseroan melakukan kelalaian dan kesalahan sebagaimana tugas-tugas dan tanggung jawab yang sudah diberikan kepada mereka.

Perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas sudah jelas terlihat pada pasal-pasal di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, namun hal ini belumlah menjadi cukup apabila para pelaku bisnis dan atau para pemilik saham mayoritas maupun para pengurus perseroan betul-betul paham dan selalu tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negeri Indonesia ini.

No comments:

Designed By