1.
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN)
Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN) dibentuk dengan Keputusan Presiden (Keppres), dan
sampai dengan sekarang ada 26 PTUN. Berdasarkan Keppres No. 52 Tahun 1990
tentang Pembentukan PTUN di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, Ujung Pandang.
Keppres No. 16 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN di Bandung, Semarang dan
Padang. Keppres No. 41 Tahun 1992 tentang Pembentukan PTUN Pontianak,
Banjarmasin dan Manado. Keppres No. 16 Tahun 1993 tentang Pembentukan PTUN
Kupang, Ambon, dan Jayapura. Keppres No. 22 Tahun 1994 tentang Pembentukan PTUN
Bandar Lampung, Samarinda dan Denpasar. Keppres No. 2 Tahun 1997 tentang
Pembentukan PTUN Banda Aceh, Pakanbaru, Jambi, Bengkulu, Palangkaraya, Palu,
Kendari, Yogyakarta, Mataram dan Dili. Untuk wilayah hukum PTUN Dili, setelah
Timor Timur merdeka bukan lagi termasuk wilayah Republik Indonesia.PTUN
mempunyai wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha
negara pada tingkat pertama.
2.
TAHAPAN PEMERIKSAAN:
Seseorang
atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan
Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan ke PTUN yang berwenang untuk
mengadilinya.Penyelesaian sengketa di PTUN tahapannya sebagai berikut :
A.
Penelitian Administrasi
Penelitian
Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, merupakan tahap pertama untuk
memeriksa gugatan yang masuk dan telah didaftar serta mendapat nomor register
yaitu setelah Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya dengan membayar
uang panjar perkara. UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tidak
menentukan secara tegas pengaturan tentang penelitian segi administrasi
terhadap gugatan yang telah masuk dan didaftarkan dalam register perkara di
Pengadilan, akan tetapi dari ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf b UU No. 5 Tahun
1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 yang antara lain menyatakan, “Syarat-syarat gugatan
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 56 tidak terpenuhi oleh penggugat sekalipun
ia telah diberitahukan dan diperingatkan”Dalam Surat Edaran MA No.2/1991
tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam UU No. 5 Tahun1986 diatur
mengenai Penelitian Administrasi :
1.
Petugas yang berwenang untuk melakukan penelitian
administrasi adalah Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda Perkara sesuai
pembagian tugas yang diberikan.
2.
Pada setiap surat gugatan yang masuk haruslah segera
dibubuhi stempel dan tanggal pada sudut kiri atas halaman pertama yang menunjuk
mengenai :
1.
Diterimanya surat gugatan yang bersangkutan.
2.
Setelah segala persyaratan dipenuhi dilakukan
pendaftaran nomor perkaranya setelah membayar panjar biaya perkara.
3.
Perbaikan formal surat gugatan (jika memang ada).
4.
Surat gugatan tidak perlu dibubuhi materai tempel,
karena hal tersebut tidak disyaratkan oleh UU.
5.
Nomor Register perkara di PTTUN harus dipisahkan
antara perkara tingkat banding dan perkara yang diajukan ke PTTUN sebagai
instansi tingkat pertama (vide Pasal 51 ayat 3 UU No. 5 Tahun1986).
6.
Di dalam kepala surat, alamat kantor PTUN atau PTTUN
harus ditulis secara lengkap termasuk kode posnya walaupun mungkin kotanya
berbeda.Misalnya: Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Jalan …
No… di Sidoarjo Kode Pos ……Tentang hal ini harus disesuaikan
dengan penyebutan yang telah ditentukan dalam UU No. 19 Tahun1960, Keppres No.
52 tahun 1990.
7.
a. Identitas Penggugat harus dicantumkan secara
lengkap dalam surat gugatan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 56 UU No. 5
Tahun1986.
b. Untuk
memudahkan penanganan kasus-kasus dan demi keseragaman model
surat gugatan harus disebutkan terlebih dahulu
nama dari pihak Penggugat pribadi (in person) dan baru disebutkan nama
kuasa yang mendampingi, sehingga dalam register perkara akan tampak jelas siapa
pihak-pihak yang berperkara senyatanya.
c.
Penelitian administratisi supaya dilakukan secara formal tentang bentuk dan isi
gugatan sesuai Pasal 56 dan tidak menyangkut segi materiil gugatan. Namun
dalam tahap ini Panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya
dan dapat meminta kepada pihak untuk memperbaiki yang dianggap perlu. Sekalipun
demikian, Panitera tidak berhak menolak pendaftaran perkara tersebut
dengan dalih apapun juga yang berkaitan dengan materi gugatan.
8.
Pendaftaran perkara di tingkat pertama dan banding
dimasukkan dalam register setelah yang bersangkutan membayar uang muka atau
panjar biaya perkara yang ditaksir oleh panitera sesuai Pasal 59
sekurang-kurangnya sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).b.Dalam
perkara yang diajukan melalui pos, panitera harus memberi tahu tentang
pembayaran uang muka kepada penggugat dengan diberi waktu paling lama 6 (enam)
bulan bagi Penggugat itu untuk memenuhi dan kemudian diterima di
Kepaniteraan Pengadilan, terhitung sejak dikirimkannya surat pemberitahuan
tersebut dan uang muka biaya perkara belum diterima di Kepaniteraan, maka
perkara Penggugat tidak akan didaftar.c.Walaupun gugatan yang dikirim melalui
pos selama masih belum dipenuhi pembayaran uang muka biaya perkara dianggap
sebagai surat biasa, akan tetapi kalau sudah jelas merupakan surat gugatan,
maka harus tetap disimpan di Kepaniteraan Muda Bidang Perkara dan harus dicatat
dalam Buku Bantu Register dengan mendasar pada tanggal diterimanya gugatan
tersebut, agar dengan demikian ketentuan tenggang waktu dalam Pasal 55 tidak
terlampaui.
9.
Dalam hal Penggugat bertempat tinggal jauh dari PTUN
dimana ia akan mendaftarkan gugatannya, maka tentang pembayaran uang muka biaya
perkara dapat ditempuh dengan cara :
1.
Panjar biaya perkara dapat dibayarkan melalui PTUN
mana gugatan diajukan yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Ongkos kirim
ditanggung penggugat di luar panjar biaya perkara.
2.
Panjar biaya perkara dikirim langsung kepada PTUN
dimana ia mendaftarkan gugatannya.
10.
a. Dalam hal suatu pihak didampingi kuasa, maka bentuk
Surat Kuasa Khusus dengan materai secukupnya, dan Surat Kuasa Khusus yang
diberi cap jempol haruslah dikuatkan (waarmerking) oleh pejabat yang
berwenang.
b. Surat
Kuasa Khusus bagi pengacara/advokat tidak perlu dilegalisir.
c. Dalam
pemberian kuasa dibolehkan adanya substitusi tetapi dimungkinkan pula adanya
kuasa insidentil.
d. Surat
kuasa tidak perlu didaftarkan di Kepaniteraan PTUN.
11. Untuk
memudahkan pemeriksaan perkara selanjutnya maka setelah suatu perkara
didaftarkan dalam register dan memperoleh nomor perkara, oleh staf kepaniteraan
dibuatkan resume gugatan terlebih dahulu sebelum diajukan kepada Ketua
Pengadilan, dengan bentuk formal yang isinya pada pokoknya sebagai berikut
:
a.
Siapa subyek gugatan, dan apakah penggugat maju
sendiri ataukah diwakili oleh Kuasa.
b. Apa yang menjadi obyek gugatan, dan apakah obyek
gugatan tersebut termasuk dalam pengertian Keputusan TUN yang memenuhi unsur
Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986.
- Apakah yang menjadi
alasan-alasan gugatan, dan apakah alasan tersebut memenuhi unsur Pasal 53
ayat 2 huruf a, b, dan c UU No. 5 Tahun 1986. (Setelah keluarnya UU No. 9
Tahun 2004 alasan gugatan mendasarkan pada Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b
UU No. 9 Tahn 2004).
- Apakah yang menjadi petitum
atau isi gugatan, yaitu hanya pembatalan Keputusan TUN saja, ataukah
ditambah pula dengan tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Untuk penelitian syarat-syarat formal gugatan,
Panitera atau staf Kepaniteraan dapat memberikan catatan atas gugatan tersebut,
untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan untuk ditindaklanjuti dengan Prosedur
Dismissal
B. Proses
Dismissal
Setelah
Penelitian Administrasi, Ketua melakukan proses dismissal, berupa prosses untuk
meneliti apakah gugatan yang diajukan penggugat layak dilanjutkan atau tidak.
Pemeriksaan Disimissal, dilakukan secara singkat dalam rapat permusyawaratan
oleh ketua dan ketua dapat menunjuk seorang hakim sebagai reporteur (raportir).
Dalam Prosedur Dismissal Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengar
keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan disimisal apabila dipandang
perlu.Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang
dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu
dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal :
a. Pokok
gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan.
b. Syarat-syarat
gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh
penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan.
c. Gugatan
tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d. Apa
yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan TUN yang
digugat.
e. Gugatan
diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.Dalam hal adanya petitum
gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan, maka kemungkinan ditetapkan
dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut. Hal ini dalam praktek tidak
pernah dilakukan karena adanya perbaikan gugatan dalam pemeriksaan
persiapan.Penetapan Dismissal ditandatangani oleh ketua dan panitera/wakil
panitera (wakil ketua dapat pula menandatangani penetapan dismissal dalam hal
ketua berhalangan).Penetapan Ketua Pengadilan tentang dismissal proses yang
berisi gugatan penggugat tidak diterima atau tidak berdasar, diucapkan dalam
rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan terlebih dahulu
memanggil kedua belah pihak untuk didengar keterangannya.Berdasarkan Surat MARI
No. 222/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 Perihal : Juklak bahwa agar ketua
pengadilan tidak terlalu mudah menggunakan Pasal 62 tersebut kecuali
mengenai Pasal 62 ayat 1 huruf :
a.
Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk
dalam wewenang pengadilan. Pengertian “pokok gugatan” ialah fakta yang
dijadikan dasar gugatan atas dasar fakta tersebut penggugat mendalilkan adanya
suatu hubungan hukum tertentu dan oleh karenanya mengajukan tuntutannya.
(Penjelasan Pasal 62 ayat 1 huruf a UU No5 Tahun 1986).
b. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah
lewat waktunya.Terhadap penetapan dismissal dapat diajukan perlawanan kepada
Pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diucapkan. Proses
perlawanan dilakukan secara singkat, serta setidak-tidaknya Penggugat/Pelawan
maupun Tergugat/Terlawan didengar dalam persidangan tersebut.Berdasarkan Surat
MARI No. 224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 Perihal : Juklak, diatur
mengenai Prosedur perlawanan- Pemeriksaan
terhadap perlawanan atas penetapan dismissal (Pasal 62 ayat 3 sd. 6 UU
No.5/1986) tidak perlu sampai memeriksa materi gugatannya seperti memeriksa bukti-bukti,
saksi-saksi, ahli, dsb. Sedangkan penetapan dismissal harus diucapkan dalam
sidang yang terbuka untuk umum.-
Pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan secara tertutup, akan tetapi
pengucapan putusannya harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum.- Terhadap perlawanan yang dinyatakan
benar maka dimulailah pemeriksaan terhadap pokok perkaranya mulai dengan
pemeriksaan persiapan dan seterusnya.-
Majelis yang memeriksa pokok perkaranya adalah Majelis yang sama dengan yang memeriksa
gugatan perlawanan tersebut tetapi dengan penetapan Ketua Pengadilan. Jadi
tidak dengan secara otomatis. Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan
oleh Pengadilan maka penetapan dismissal itu gugur demi hukum dan pokok gugatan
akan diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusan
mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum. Baik upaya hukum
biasa maupun upaya hukum luar biasa. Apabila pihak Pelawan mengajukan
permohonan banding atau upaya hukum lainnya, maka Panitera berkewajiban membuat
akte penolakan banding atau upaya hukum lainnya.
C.
Pemeriksaan Persiapan
Sebelum
pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan
persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. Tujuan pemeriksaan
persiapan adalah untuk mematangkan perkara. Segala sesuatu yang akan dilakukan
dari jalan pemeriksaan tersebut diserahkan kearifan dan kebijaksanaan ketua
majelis. Oleh karena itu dalam pemeriksaan persiapan memanggil penggugat untuk menyempurnakan
gugatan dan atau tergugat untuk dimintai keterangan/ penjelasan tentang
keputusan yang digugat, tidak selalu harus didengar secara terpisah.
Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruangan musyawarah dalam sidang tertutup
untuk umum, tidak harus di ruangan sidang, bahkan dapat pula dilakukan di dalam
kamar kerja hakim tanpa toga. Pemeriksaan persiapan dapat pula dilakukan oleh
hakim anggota yang ditunjuk oleh ketua majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh ketua majelis. Maksud Pasal 63 ayat (2) b tidak terbatas hanya
kepada Badan/Pejabat TUN yang digugat, tetapi boleh juga terhadap siapa saja
yang bersangkutan dengan data-data yang diperlukan untuk mematangkan perkara
itu. Dalam pemeriksaan persiapan sesuai dengan ketentuan Pasal 63 UU No. 5
Tahun 1986 dan Surat Edaran (SEMA No. 2 Tahun1991) serta Juklak MARI (Juklak
MARI No.052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992), (Surat MARI No. 223/Td.TUN/
X/ 1993 tanggal 14-10-1993 tentang Juklak), (Surat MARI No. 224 /Td.TUN/X/1993
tanggal 14-10-1993 tentang Juklak). Majelis Hakim berwenang untuk :
a.
Wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk
memperbaiki gugatan dan melengkapi dengan data yang diperlukan dalam jangka
waktu tiga puluh hari.
b.
Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat TUN
yang bersangkutan, demi lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu.
Wewenang Hakim ini untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai
Penggugat dalam mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dari Badan atau
Pejabat TUN mengingat bahwa penggugat dan Badan atau Pejabat TUN kedudukannya
tidak sama. Dapat pula melakukan acara mendengarkan keterangan-keterangan dari
Pejabat TUN lainnya atau mendengarkan keterangan siapa saja yang dipandang
perlu oleh hakim serta mengumpulkan surat-surat yang dianggap perlu oleh hakim.
c.
Dalam kenyataan Keputusan TUN yang hendak
disengketakan itu mungkin tidak ada dalam tangan penggugat. Dalam hal keputusan
itu ada padanya, maka untuk kepentingan pembuktian ia seharusnya melampirkannya
pada gugatan yang ia ajukan. Tetapi apabila penggugat yang tidak memiliki
Keputusan TUN yang bersangkutan tentu tidak mungkin melampirkan pada gugatan
terhadap keputusan yang hendak disengketakan itu. Untuk itu, Hakim dapat
meminta kepada Badan/Pejabat TUN yang bersangkutan untuk mengirimkan kepada
Pengadilan Keputusan TUN yang sedang disengketakan itu. Dengan kata “sedapat
mungkin” tersebut ditampung semua kemungkinan, termasuk apabila tidak ada
keputusan yang dikeluarkan menurut ketentuan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986.
d.
Pemeriksaan persiapan terutama dilakukan untuk
menerima bukti-bukti dan surat-surat yang berkaitan. Dalam hal adanya tanggapan
dari Tergugat, tidak dapat diartikan sebagai replik dan duplik. Bahwa untuk itu
harus dibuat berita acara pemeriksaan persiapan.
e.
Mencabut “Penetapan Ketua PTUN tentang penundaan
pelaksanaan Keputusan TUN” apabila ternyata tidak diperlukan. ·
f.
Dalam tahap pemeriksaan persiapan juga dapat dilakukan
pemeriksaan setempat. Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan setempat
tidak selalu harus dilaksanakan lengkap, cukup oleh salah seorang anggota yang
khusus ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan setempat. Penugasan tersebut
dituangkan dalam bentuk penetapan.
Kalau
gugatan dari Penggugat dinilai oleh Hakim sudah sempurna maka tidak perlu
diadakan perbaikan gugatan. ·
Majelis
Hakim juga harus menyarankan kepada penggugat untuk memperbaiki petitum gugatan
yang sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 53 tentang petitum gugatan dan dalam
Pasal 97 ayat 7 tentang putusan pengadilan, maka untuk keseragaman bunyi amar
putusan adalah sebagai berikut :
1.
Mengabulkan gugatan penggugat.
2.
Menyatakan batal keputusan TUN yang disengketakan yang
dikeluarkan oleh nama intansi atau nama Badan/Pejabat TUN tanggal…
Nomor….perihal….atau menyatakan tidak sah keputusan TUN yang disengketakan yang
dikeluarkan oleh nama instansi atau nama Badan/Pejabat TUN, tanggal
….nomor…perihal…).
Selanjutnya
diikuti amar berupa mewajibkan atau memerintahkan Tergugat untuk mencabut
Keputusan TUN yang disengketakan. Untuk itu didalam praktek masih adanya
putusan yang sifatnya deklaratoir (Menyatakan batal atau tidak sah
saja) , tidak diikuti amar selanjutnya berupa :Mewajibkan atau
Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Keputusan TUN yang
disengketakan.
Tenggang
waktu 30 hari untuk perbaikan gugatan dalam fase pemeriksaan persiapan,
janganlah diterapkan secara ketat sesuai bunyi penjelasan Pasal 63 ayat 3 UU
No. 5 Tahun 1986. Tenggang waktu 30 hari tersebut tidak bersifat memaksa maka
hakim tentu akan berlaku bijaksana dengan tidak begitu saja menyatakan bahwa
gugatan penggugat tidak dapat diterima kalau penggugat baru satu kali diberi
kesempatan untuk memperbaiki gugatannya. (Penjelasan Pasal 63 ayat 3 UU No. 5
Tahun1986).Dalam pemeriksaan perkara dengan acara cepat tidak ada pemeriksaan
persiapan. Setelah ditunjuk Hakim tunggal, langsung para pihak dipanggil untuk
persidangan.
D.
Persidangan
Dalam
pemeriksaan persidangan ada dengan acara biasa dan acara cepat (Pasal 98 dan 99
UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).Ketua Majelis/Hakim
memerintahkan panitera memanggil para pihak untuk pemeriksaan persidangan
dengan surat tercatat. Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang
tidak boleh kurang dari enam hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus
diperiksa dengan acara cepat. Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan
dianggap sah, apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirim
dengan surat tercatat.Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan
gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan tertulis.
Apabila
dipandang perlu Hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang
bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili
oleh seorang kuasa.Dalam menentukan hari sidang, Hakim harus mempertimbangkan
jauh dekatnya tempat tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan.Dalam
pemeriksaan dengan acara biasa, Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa TUN
dengan tiga orang Hakim, sedangkan dengan acara cepat dengan Hakim Tunggal.
Pengadilan bersidang pada hari yang ditentukan dalam surat panggilan.
Pemeriksaan sengketa TUN dalam persidangan dipimpin oleh Hakim Ketua Sidang.
Hakim Ketua Sidang wajib menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap
ditaati setiap orang dan segala perintahnya dilaksanakan dengan baik. Untuk
keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka
untuk umum.
Apabila
Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban
umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum,
namun putusan tetap diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.Dalam
hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari pertama dan
pada hari yang ditentukan dalam panggilan kedua tanpa alasan yang dapat
dipertanggung jawabkan, meskipun setiap kali dipanggil dengan patut, gugatan
dinyatakan gugur, dan penggugat harus membayar biaya perkara. Setelah gugatan
penggugat dinyatakan gugur, penggugat berhak memasukkan gugatannya sekali lagi
sesudah membayar uang muka biaya perkara.
Dalam hal
tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang
berturut-turut dan atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat
dipertanggung jawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka
Hakim Ketua Sidang dengan surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan
tergugat hadir dan atau menanggapi gugatan. Dalam hal setelah lewat dua bulan
sesudah dikirimkan dengan surat tercatat penetapan tersebut tidak diterima
berita baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang
menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut
acara biasa, tanpa hadirnya tergugat.
Putusan
terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi
pembuktiannya dilakukan secara tuntas.Dalam hal terdapat lebih dari seorang
tergugat dan seorang atau lebih diantara mereka atau kuasanya tidak hadir di
persidangan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa
itu dapat ditunda sampai hari sidang yang ditentukan Hakim Ketua
Sidang.Penundaan sidang itu diberitahukan kepada pihak yang hadir, sedang
terhadap pihak yang tidak hadir oleh Hakim Ketua Sidang diperintahkan untuk
dipanggil sekali lagi. Apabila pada hari penundaan sidang tersebut tergugat
atau kuasanya masih ada yang tidak hadir, sidang dilanjutkan tanpa
kehadirannya.Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan
surat yang memuat jawaban oleh Hakim Ketua Sidang dan jika tidak ada surat
jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya. Hakim
Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan
seperlunya hal yang diajukan oleh mereka masing-masing. Penggugat dapat
mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik, asal
disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat, dan hal
tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim. Tergugat dapat
mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik, asal
disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat dan hal
tersebut harus dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim.
Penggugat
dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban.
Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan
oleh penggugat akan dikabulkan oleh pengadilan hanya apabila disetujui
tergugat.Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan setiap
waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan
absolut Pengadilan, apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatannya
wajib menyatakan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang
bersangkutan.
Eksepsi
tentang kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas
pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa
diperiksa. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan hanya dapat
diputus bersama dengan pokok perkara.Demi kelancaran pemeriksaan sengketa,
Hakim Ketua Sidang berhak di dalam sidang memberikan petunjuk kepada para pihak
yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang dapat digunakan oleh
mereka dalam sengketa.
Ketentuan
ini menunjukkan bahwa peranan hakim ketua sidang dalam proses pemeriksaan
sengketa TUN adalah aktif dan menentukan serta memimpin jalannya persidangan
agar pemeriksaan tidak berlarut-larut.
Oleh karena
itu, cepat atau lambatnya penyelesaian sengketa tidak semata-mata bergantung
pada kehendak para pihak, melainkan Hakim harus selalu memperhatikan
kepentingan umum yang tidak boleh terlalu lama dihambat oleh sengketa itu.Hakim
menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat
bukti berdasarkan keyakinan hakim. Pasal 107 UU No.5 Tahun 1986 jo UU No. 9
Tahun 2004 mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materil.
Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam hukum acara Perdata, maka dengan
memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung
pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peratun dapat
menentukan sendiri :
1.
Apa yang harus dibuktikan.
2.
Siapa yang harus dibebani pembuktian hal apa saja yang
harus dibuktikan oleh hakim sendiri.
3.
Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk
dipergunakan dalam pembuktian.
4.
Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.
Alat bukti
terdiri dari : Surat atau tulisan, Keterangan ahli, Keterangan saksi, Pengakuan
para pihak, Pengetahuan hakim. Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak
perlu dibuktikan.
Untuk
kepentingan pemeriksaan dan apabila Hakim Ketua Sidang memandang perlu ia dapat
memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang oleh Pejabat TUN, atau
pejabat lain yang menyimpan surat, atau meminta penjelasan dan keterangan
tentang sesuatu yang bersangkutan dengan sengketa. Hakim Ketua Sidang dapat
memerintahkan pula supaya surat tersebut diperlihatkan kepada Pengadilan dalam
persidangan yang akan ditentukan untuk keperluan itu.
Apabila
surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebelum diperlihatkan oleh
penyimpannya dibuat salinan surat itu sebagai ganti yang asli selama surat yang
asli belum diterima kembali dari pengadilan.Pemeriksaan saksi di persidangan
dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang
dipandang sebaik-baiknya oleh Hakim Ketua Sidang. Saksi yang sudah diperiksa
harus tetap di dalam ruang sidang kecuali jika hakim ketua sidang menganggap
perlu mendengar saksi yang lain di luar hadirnya saksi yang telah didengar itu
misalnya apabila saksi lain yang akan diperiksa itu berkeberatan memberikan
keterangan dengan tetap hadirnya saksi yang telah didengar.Atas permintaan
salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim Ketua Sidang dapat memerintahkan
seorang saksi untuk didengar dalam persidangan.Pejabat yang dipanggil sebagai
saksi wajib datang sendiri di persidangan.
Biaya perjalanan pejabat yang dipanggil sebagai saksi di Pengadilan tidak
dibebankan sebagai biaya perkara.
Apabila
saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan meskipun
telah dipanggil dengan patut dan hakim mempunyai cukup alasan untuk menyangka
bahwa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua Sidang dapat memberi perintah
supaya saksi dibawa oleh polisi ke persidangan. Menjadi saksi adalah satu
kewajiban hukum setiap orang. Orang yang dipanggil menghadap sidang Pengadilan
untuk menjadi saksi tetapi menolak kewajiban itu dapat dipaksa untuk dihadapkan
di persidangan dengan bantuan polisi. Seorang saksi yang tidak
bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan yang bersangkutan tidak diwajibkan
datang di Pengadilan tersebut tetapi pemeriksaan saksi itu dapat diserahkan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman saksi. Ketua
Pengadilan yang mendelegasikan wewenang pemeriksaan saksi tersebut mencantumkan
dalam penetapannya dengan jelas hal atau persoalan yang harus ditanyakan kepada
saksi oleh Pengadilan yang diserahi delegasi wewenang tersebut.Dari pemeriksaan
saksi tersebut dibuat berita acara yang ditandatangani oleh Hakim dan Panitera
Pengadilan yang kemudian dikirimkan kepada Pengadilan yang memberikan delegasi
wewenang di atas.
1).
Pada setiap pemeriksaan, panitera harus membuat berita acara sidang yang memuat
segala sesuatu yang terjadi dalam sidang.
2).
Berita acara sidang ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan panitera.
Apabila salah seorang dari mereka berhalangan, maka hal itu dinyatakan dalam
berita acara tersebut .Apabila hakim ketua sidang dan panitera berhalangan
menandatangani maka berita acara ditandatangani oleh ketua pengadilan dengan
menyatakan berhalangannya hakim ketua sidang dan panitera tersebut.Apabila
suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pada suatu hari persidangan,
pemeriksaan dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya. Lanjutan sidang harus
diberitahukan kepada kedua belah pihak, dan bagi mereka pemberitahuan ini
disamakan dengan panggilan. Dalam hal salah satu pihak yang datang pada hari
persidangan pertama ternyata tidak datang pada hari persidangan selanjutnya
Hakim Ketua Sidang menyuruh memberitahukan kepada pihak yang tidak hadir
tentang waktu, hari, dan tanggal persidangan berikutnya. (Pasal 95 UU No. 5
Tahun1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan,
kedua belah pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir
berupa kesimpulan masing-masing.
E. Putusan
Setelah
kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan
bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada Majelis Hakim
bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna
putusan sengketa tersebut.Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh
Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali setelah
diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai permufakataan bulat,
putusan diambil dengan suara terbanyak.
Apabila
musyawarah majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan
ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya. Apabila dalam musyawarah majelis
berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua
Majelis yang menentukan.Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga
dalam sidang yang terbuka untuk umum atau ditunda pada hari lain yang harus
diberitahukan kepada kedua belah pihak.Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak
tidak hadir pada waktu putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang
salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan.
Tidak
diucapkannya putusan dalam sidang terbuka untuk umum mengakibatkan putusan
Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.Putusan pengadilan
harus memuat dan memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Kepala putusan yang berbunyi : “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b.
nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kedudukan para
pihak;
c.
ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan
dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e.
alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f.
amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g.
hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama
panitera, serta keterangan hadir atau tidak hadirnya para pihak. (Pasal 109 UU
No.5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004).
Tidak
terpenuhinya salah satu ketentuan dalam syarat putusan tersebut, dapat
menyebabkan batalnya putusan Pengadilan.Dalam Pasal 97 ayat (7), (8), (9) UU
No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 mengenai putusan yaitu :
(7)
Putusan pengadilan dapat berupa :
a.
Gugatan penggugat ditolak.
b.
Gugatan penggugat dikabulkan.
c.
Gugatan penggugat tidak diterima.
d.
Gugatan penggugat gugur.
(8) Dalam
hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh
Badan atau Pejabat TUN.
(9)
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) dapat disertai pembebanan ganti
rugi berupa :
a.
Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan atau
b. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan dan
penerbitan keputusan TUN yang baru; atau
c.
Penerbitan keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan
pada Pasal 3.
(10) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9)
dapat disertai pembebanan ganti rugi.
(11) Dalam
hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut
kepegawaian, maka disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam (9) dan ayat
(10) dapat disertai pemberian rehabilitasi.
Bagi pihak
yang tidak sependapat dengan Putusan PTUN dapat mengajukan upaya hukum banding
ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) dalam tenggang waktu 14 hari
setelah putusan PTUN diberitahukan secara sah.
.jpg)
No comments:
Post a Comment