A. Pendahuluan
Sebagai Negara Hukum,
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjunjung tinggi hak asasi manusia dan perlindungan terhadap warga negara. Hak warga negara dilindungi oleh negara baik warga negara dalam status tersangka, terdakwa, terpidana ataupun sebagai warga negara yang bebas, dan tidak membedakan jenis kelamin, umur, suku agama dan lain-lain.
Hak warga negara merupakan hak asasi manusia yang dijamin didalam ketentuan UUD 45 pada pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J. Selain didalam UUD 45, perlindungan terhadap hak warga negara dijamin didalam Undang-undang No. 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) serta beberapa Undang-undang lain yang relevan.
Dasar hukum KUHAP disebutkan dalam UU No. 8 Tahun 1981 ialah :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ;
2. Keteapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978 ;
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).
Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 butir 1 dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan kuhap adalah singkatan dari kitab undang-undang hukum acara pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 285 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Hukum acara pidana yang disebut juga hukum pidana formal mengatur cara pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hokum pidana materil. Penyelenggara berdasarkan undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, tentang hukum acara pidana.
B. Rumusan Masalah
Oleh sebab itu, maka penulis tertarik melihat bahwa bagaimana pelaksanaan KUHAP dalam sistem peradilan pidana (Criminal Justice System)?
C. Pembahasan
1. Pengertian hukum acara pidana
Dikaji dari perspektif teoritik dan praktik system peradilan pidana Indonesia, Hukum Acara pidana (Hukum Pidana Formal) yang lazim disebut dengan terminologi bahasa Belanda “Formeel strafrecht” atau “Strafprocesrecht” sangat penting eksistensinya guna menjamin menegakkan dan mempertahankan Hukum Pidana Materil. Sedangkan perlu juga menengok rumusan yang dibuat oleh pakar Indonesia, yakni untuk ini kita ambil sarjana hokum senior, yaitu Wirjono Prodjodikoro, bekas ketua Mahkamah Agung. Beliau menyatakan hokum acara pidana sebagai berikut : “hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hokum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hokum pidana”.
Dikaji dari perspektif teoritik dan praktik system peradilan pidana Indonesia, Hukum Acara pidana (Hukum Pidana Formal) yang lazim disebut dengan terminologi bahasa Belanda “Formeel strafrecht” atau “Strafprocesrecht” sangat penting eksistensinya guna menjamin menegakkan dan mempertahankan Hukum Pidana Materil. Sedangkan perlu juga menengok rumusan yang dibuat oleh pakar Indonesia, yakni untuk ini kita ambil sarjana hokum senior, yaitu Wirjono Prodjodikoro, bekas ketua Mahkamah Agung. Beliau menyatakan hokum acara pidana sebagai berikut : “hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hokum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hokum pidana”.
2. Tujuan dan fungsi hukum acara pidana
Pada hakikatnya, tujuan hokum acara pidana antara lain dapat dibaca pada pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan menerapkan ketentuan hokum acara pidana jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hokum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidanatelah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Sedangkan menurut Van Bemmelen mengemukan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu sebagai berikut.
Pada hakikatnya, tujuan hokum acara pidana antara lain dapat dibaca pada pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan menerapkan ketentuan hokum acara pidana jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hokum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidanatelah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Sedangkan menurut Van Bemmelen mengemukan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu sebagai berikut.
1) Mencari kebenaran dan menemukan kebenaran
2) Pemberian keputusan oleh hakim.
3) Pelaksanaan keputusan.
Dari ketiga fungsi tersebut, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”.
Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampaikepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman, pelaksanaan keputusan tersebut harus berdasarkan perikemanusiaan. Tetapi tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya ialah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.
3. Asas-asas hukum acara pidana.
a. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan Untuk menunjukan sistem peradilan cepat, banyak ketentuan di dalam KUHAP memakai istilah “segera”. Dalam HIR, misalnya Pasal 71 dikatakan, bahwa jika hulp magistraat (Jaksa). Tentulah istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti daripada istilah “segera”. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan dalam praktekoleh penegak hukum. Oleh karena itu, pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speddy trial) di dalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah ”segera” itu. Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut di dalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran UU. No. 14 tahun1974 tentang ketentuan Pokok kekuasaan kehakiman tersebut.
Dengan demikian, bahwa peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahan yang lama sebelum ada keputusan hakim merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.
b. Presumption of innocent Menurut UU No. 48 tahun 2004 pasal 8 tentang kekuasaan kehakiman secara eksplisit menyatakan bahwa : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap’. Secara implisit bahwa makna persamaan kedudukan dihadapan hukum (eguality before the law) dapat ditemukan pada pasal 37 dan 38 Undang-undang No. 48 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
c. Equality before the law Asas yang umum dianut di Negara-negara yang didasarkan hukum ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan KUHAP dalam penjelasan umum butir 3a. Pasal 5 ayat (1) tersebut berbunyi : ” Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Untuk itu sering dipakai bahasa Sanskerta “tan hana dharma manrua” yang dijadikan moto Persaja (Persatuan Jaksa).
d. Pengadilan terbuka untuk umum kecuali diatur UU Pada kepala subparagraph ini telah tegas tertulis “pemeriksaan pengadilan” yang berarti pemeriksaan pendahuluan, penyidikan, dan praperadilan tidak terbuka untuk umum. Dalam hal ini dapat diperhatikan pula Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut ; “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua siding dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak” ayat (3).
e. Sidang pengadilan secara langsung dan lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di mana gugatan dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa.
f. Asas Akusatoir bukan Inkusatoir (pelaku sebagai subjek bukan objek) Sebagai asas akuisitor itu berarti tersangka dipandang sebagi objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR, sedangkan asas Inkusitor ini dipandang sesuai bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti.
g. Asas Legalitas dan Oportunitas (sebagai pengecualian) Menurut asas yang tersebut pertama, penuntut umum wajib menuntuk suatu delik, sedangkan asass legalitas dalam hukum acara pidana jangan campuradukan dengan asas legalitas dalam hukum pidana materil yang biasa disebuat diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Menurut kedua asas ini, penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum.
Demi kepentingan umum seseorang yang melakukan delik tidak di tuntut. Menurut A. Z. Abidin memberikan wewenang kepada penutut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah diwujudkan delik dengan kepentingan umum. Dalam Pasal 32 C UU No. 5 Tahun 1991 tentang kejaksaan dengan tegas menyatakn asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal ini berbunyi sebagai berikut “Jaksa agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum”.
h. Tersangka/ terdakwa wajib mendapatkan bantuan hukum Dalam Pasal 69 sampai 74 diatur tentang bantuan hukum tersebut dmana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan-kebebasan yang sangat luas. Hak untuk mendapat bantuan hukum di atur dalam KUHAP. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bahwa mengenai hak tersangka diatur dalam
• Pasal 54 : Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksa, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
• Pasal 55 : Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam pasal 54, ters angka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
• Pasal 56 : Butir 1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancamkan dengan pidana mati atau ancaman pidana belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjukan penasihat hukum bagi mereka. Butir 2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Asas-asas tersebut muncul karena adanya pranata-pranata baru dalam hukum acara pidana. pranata baru yang dimaksud adalah:
1. Terjaminnya HAM
2. Bantuan Hukum pada semua tingkat pemeriksaan.
3. Batas waktu penangkapan dan penahanan.
4. Ganti kerugian dan rehabilitasi.
5. Pra penuntutan
6. Penggabungan perkara berkaitan dengan gugatan ganti kerugian
7. Upaya hukum (perlawanan sampai dengan PK)
8. Koneksitas
9. Hawasmat (hakim, pengawas, pengamat)
10. Pra peradilan
4. Pihak dalam hukum acara pidana
a. Polisi (Penyelidik dan Penyidik) Menurut pasal 1 angka 4 KUHAP Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penyelidikan Menurut pasal 1 angka 1 KUHAP Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
b. Jaksa dan Penuntut Umum Menurut pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Menurut pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim
c. Hakim Menurut pasal 1 angka 8 KUHAP: Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
d. Tersangka, Terdakwa dan Terpidana Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (pasal 1 angka 13 KUHAP). Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (pasal 1 angka 14 KUHAP). sedangkan Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh keputusan hukum tetap (pasal 1 angka 32 KUHAP).
e. Saksi Menurut pasal 1 angka 26 KUHAP Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri.
5. Proses Pelaksanaan Hukum Acara Pidana.
PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA PP No. 27 Tahun 1983 : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209). Selanjutnya dalam Pasal 1 butir 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: KUHAP adalah singkatan dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 285 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
a. Pemeriksaan pendahuluan Menurut KUHP diartikan bahwa penyelidakan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidanaguna menentukan dapat atau tidak nya dilakukannya penyelidikan(pasal 1 butir lima kuhap). Dengan demikian fungsi penelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang acara pidana, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya (pasal 1 butir 2 KUHAP) Oleh karena itu, secara kongkrit dapat dikatakan bahwa penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang:
• Tindak apa yang telah dilakukannya
• Kapan tindak pidana itu dilakuakan
• Dimana tindak pidana itu dilakukan
• Dengan apa tindak pidana itu dilakukan
• Bagaimana tindak pidana itu dilakukan
• Mengapa tindak pidana itu dilakukan
• Siapa pembuatnya
b. Pemeriksaan dimuka pengadilan Pemberitahuan untuk dating ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat terakhir (Pasal 145 ayat (1) KUHAP). Pemeriksaan ini bertujuan meneliti dan menyaring apakah suatu tindakan pidana itu benar atau tidak, dan bukti yang diajukan sah atau tidak. Pemeriksaan di muka sidang bersifat akusator, artinya terdakwa mempunyai kedudukan sederajat dengan penuntut umum dan nanti yang akan memutuskan adalah hakim.
c. Pemeriksaan putusan hakim pidana Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (in kracht) segera dilaksanakan oleh jaksa atau atas perintah jaksa.
d. Upaya hukum Yang dimaksud dengan upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana dan penuntut umum untuk mengajukan permohonan PK (Peninjauan Kembali) putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam KUHAP.
e. Pelaksanaan putusan hakim pidana Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jakasa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepada jaksa (pasal 270 KUHAP).
Eksekusi putusan pengadilan baru dapat dilakukan oleh jaksa, setelah jaksa menerima salinan surat putusan dari panitera. Menurut SEMA No. 21 Tahun 1983 Tanggal 8 Desember 1983 batas waktu pengiriman salinan putusan dari panitera kepada jaksa untuk perkara acara biasa paling lama 1 (satu) minggu dan untuk perkara dengan acara singkat paling lama 14 hari. Sedangkan putusan pengadilan dapat dinyatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila tenggang waktu berpikir telah melampaui yaitu 7 hari setelah putusan Pengadilan Negeridan 14 ahri setelah putusan Pengadilan tinggi/banding (KEP.MEN NO.M.14-PW.07.03 TH.1983 butir 14 jo. Pasal 196 ayat (3) huruf a dan c KUHAP). Apabila putusan pengadilan berisi pidana dang anti kerugian, maka pelaksanaan putusan ganti kerugian dilakukan menurt tatacara putusan perdata (KEP.MEN NO.M.14-PW.07.03 TH.1983 butir 15 jo. Pasal 274 KUHAP).
6. Alat-alat bukti perkara pidana
Menurut Martiman Prodjohamidjojo bahwa wettelijk, sesuai dgn alat-alat bukti yang sah yang ditetapkan oleh undang dan negatief, oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang saja belum cukup untuk membuat hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim. Sedangkan menurut Mr. Kwee Oen Goan bahwa Hakim harus memakai alat-alat bukti yang sah, ditentukan oleh UU. Apabila Hakim tidak jakin tentang kesalahan terdakwa, maka ia tidak wajib menjatuhkan hukuman. Pasal 183 KUHAP Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 (1) Alat bukti yang sah, ialah
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Keterangan Saksi: (1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. (2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. (4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. (5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli. Penilaian thd Saksi:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya; Penilaian thd saksi yg tidak disumpah: meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Keterangan Ahli (ps.186-187) Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan; Surat (ps.187)
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Keterangan terdakwa (ps.189).
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Petunjuk (ps.188) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya, Sumber: keterangan saksi; surat; keterangan terdakwa. Penilaian petunjuk: • Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bidjaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
7. Beda Hukum Acara Pidana Dan Hukum Acara Perdata.
Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata. Dalam hukum acara perdata, dapat dilihat dalam berbagai peraturan Belanda dulu(misalnya; Het Herziene Inlandsh Reglement/HIR, RBG, RB,RO). Pembuktian dalam persidangan perkara perdata dilakukan oleh para pihak (Penggugat dan Tergugat). Asas pembagian beban pembuktian ini tercantum dalam pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg, 1865 BW), yang berbunyi : “Barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”. Ini berarti bahwa kedua belah pihak, baik Penggugat maupun Tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama Penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya. Sedangkan Tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran bantahan Tergugat, demikian pula sebaliknya Tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh Penggugat. Kalau Penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukannya ia harus dikalahkan, sedangkan kalau Tergugat tidak dapat membuktikan bantahannya ia harus pula dikalahkan. Sedangkan Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981. Perbedaan pembuktian dalam perkara pidana adalah: hukum acara pidana bertujuan mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran sejati atau yang sesungguhnya, hakimnya bersifat aktif, hakim berkewajiban untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk membuktikan tuduhan kepada tertuduh, alat buktinya bisa berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. D. Kesimpulan Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981. Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana). Menurut pasal 184 KUHAP, alat bukti dalam perkara pidana bisa berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Hal-hal yang sudah diketahui umum, tidak perlu dibuktikan lagi.
Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampaikepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman, pelaksanaan keputusan tersebut harus berdasarkan perikemanusiaan. Tetapi tujuan hukum acara pidana mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya ialah mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.
3. Asas-asas hukum acara pidana.
a. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan Untuk menunjukan sistem peradilan cepat, banyak ketentuan di dalam KUHAP memakai istilah “segera”. Dalam HIR, misalnya Pasal 71 dikatakan, bahwa jika hulp magistraat (Jaksa). Tentulah istilah “satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti daripada istilah “segera”. Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan dalam praktekoleh penegak hukum. Oleh karena itu, pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speddy trial) di dalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah ”segera” itu. Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut di dalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran UU. No. 14 tahun1974 tentang ketentuan Pokok kekuasaan kehakiman tersebut.
Dengan demikian, bahwa peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahan yang lama sebelum ada keputusan hakim merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.
b. Presumption of innocent Menurut UU No. 48 tahun 2004 pasal 8 tentang kekuasaan kehakiman secara eksplisit menyatakan bahwa : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap’. Secara implisit bahwa makna persamaan kedudukan dihadapan hukum (eguality before the law) dapat ditemukan pada pasal 37 dan 38 Undang-undang No. 48 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
c. Equality before the law Asas yang umum dianut di Negara-negara yang didasarkan hukum ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan KUHAP dalam penjelasan umum butir 3a. Pasal 5 ayat (1) tersebut berbunyi : ” Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Untuk itu sering dipakai bahasa Sanskerta “tan hana dharma manrua” yang dijadikan moto Persaja (Persatuan Jaksa).
d. Pengadilan terbuka untuk umum kecuali diatur UU Pada kepala subparagraph ini telah tegas tertulis “pemeriksaan pengadilan” yang berarti pemeriksaan pendahuluan, penyidikan, dan praperadilan tidak terbuka untuk umum. Dalam hal ini dapat diperhatikan pula Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut ; “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua siding dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak” ayat (3).
e. Sidang pengadilan secara langsung dan lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di mana gugatan dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa.
f. Asas Akusatoir bukan Inkusatoir (pelaku sebagai subjek bukan objek) Sebagai asas akuisitor itu berarti tersangka dipandang sebagi objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR, sedangkan asas Inkusitor ini dipandang sesuai bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti.
g. Asas Legalitas dan Oportunitas (sebagai pengecualian) Menurut asas yang tersebut pertama, penuntut umum wajib menuntuk suatu delik, sedangkan asass legalitas dalam hukum acara pidana jangan campuradukan dengan asas legalitas dalam hukum pidana materil yang biasa disebuat diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Menurut kedua asas ini, penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum.
Demi kepentingan umum seseorang yang melakukan delik tidak di tuntut. Menurut A. Z. Abidin memberikan wewenang kepada penutut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah diwujudkan delik dengan kepentingan umum. Dalam Pasal 32 C UU No. 5 Tahun 1991 tentang kejaksaan dengan tegas menyatakn asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal ini berbunyi sebagai berikut “Jaksa agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum”.
h. Tersangka/ terdakwa wajib mendapatkan bantuan hukum Dalam Pasal 69 sampai 74 diatur tentang bantuan hukum tersebut dmana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan-kebebasan yang sangat luas. Hak untuk mendapat bantuan hukum di atur dalam KUHAP. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bahwa mengenai hak tersangka diatur dalam
• Pasal 54 : Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksa, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.
• Pasal 55 : Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam pasal 54, ters angka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
• Pasal 56 : Butir 1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancamkan dengan pidana mati atau ancaman pidana belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjukan penasihat hukum bagi mereka. Butir 2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Asas-asas tersebut muncul karena adanya pranata-pranata baru dalam hukum acara pidana. pranata baru yang dimaksud adalah:
1. Terjaminnya HAM
2. Bantuan Hukum pada semua tingkat pemeriksaan.
3. Batas waktu penangkapan dan penahanan.
4. Ganti kerugian dan rehabilitasi.
5. Pra penuntutan
6. Penggabungan perkara berkaitan dengan gugatan ganti kerugian
7. Upaya hukum (perlawanan sampai dengan PK)
8. Koneksitas
9. Hawasmat (hakim, pengawas, pengamat)
10. Pra peradilan
4. Pihak dalam hukum acara pidana
a. Polisi (Penyelidik dan Penyidik) Menurut pasal 1 angka 4 KUHAP Penyelidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penyelidikan Menurut pasal 1 angka 1 KUHAP Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
b. Jaksa dan Penuntut Umum Menurut pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Menurut pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim
c. Hakim Menurut pasal 1 angka 8 KUHAP: Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.
d. Tersangka, Terdakwa dan Terpidana Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (pasal 1 angka 13 KUHAP). Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (pasal 1 angka 14 KUHAP). sedangkan Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh keputusan hukum tetap (pasal 1 angka 32 KUHAP).
e. Saksi Menurut pasal 1 angka 26 KUHAP Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri.
5. Proses Pelaksanaan Hukum Acara Pidana.
PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA PP No. 27 Tahun 1983 : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209). Selanjutnya dalam Pasal 1 butir 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: KUHAP adalah singkatan dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 285 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
a. Pemeriksaan pendahuluan Menurut KUHP diartikan bahwa penyelidakan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidanaguna menentukan dapat atau tidak nya dilakukannya penyelidikan(pasal 1 butir lima kuhap). Dengan demikian fungsi penelidikan dilaksanakan sebelum dilakukan penyidikan, yang bertugas untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang acara pidana, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya (pasal 1 butir 2 KUHAP) Oleh karena itu, secara kongkrit dapat dikatakan bahwa penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang:
• Tindak apa yang telah dilakukannya
• Kapan tindak pidana itu dilakuakan
• Dimana tindak pidana itu dilakukan
• Dengan apa tindak pidana itu dilakukan
• Bagaimana tindak pidana itu dilakukan
• Mengapa tindak pidana itu dilakukan
• Siapa pembuatnya
b. Pemeriksaan dimuka pengadilan Pemberitahuan untuk dating ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat terakhir (Pasal 145 ayat (1) KUHAP). Pemeriksaan ini bertujuan meneliti dan menyaring apakah suatu tindakan pidana itu benar atau tidak, dan bukti yang diajukan sah atau tidak. Pemeriksaan di muka sidang bersifat akusator, artinya terdakwa mempunyai kedudukan sederajat dengan penuntut umum dan nanti yang akan memutuskan adalah hakim.
c. Pemeriksaan putusan hakim pidana Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (in kracht) segera dilaksanakan oleh jaksa atau atas perintah jaksa.
d. Upaya hukum Yang dimaksud dengan upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana dan penuntut umum untuk mengajukan permohonan PK (Peninjauan Kembali) putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam KUHAP.
e. Pelaksanaan putusan hakim pidana Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jakasa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepada jaksa (pasal 270 KUHAP).
Eksekusi putusan pengadilan baru dapat dilakukan oleh jaksa, setelah jaksa menerima salinan surat putusan dari panitera. Menurut SEMA No. 21 Tahun 1983 Tanggal 8 Desember 1983 batas waktu pengiriman salinan putusan dari panitera kepada jaksa untuk perkara acara biasa paling lama 1 (satu) minggu dan untuk perkara dengan acara singkat paling lama 14 hari. Sedangkan putusan pengadilan dapat dinyatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila tenggang waktu berpikir telah melampaui yaitu 7 hari setelah putusan Pengadilan Negeridan 14 ahri setelah putusan Pengadilan tinggi/banding (KEP.MEN NO.M.14-PW.07.03 TH.1983 butir 14 jo. Pasal 196 ayat (3) huruf a dan c KUHAP). Apabila putusan pengadilan berisi pidana dang anti kerugian, maka pelaksanaan putusan ganti kerugian dilakukan menurt tatacara putusan perdata (KEP.MEN NO.M.14-PW.07.03 TH.1983 butir 15 jo. Pasal 274 KUHAP).
6. Alat-alat bukti perkara pidana
Menurut Martiman Prodjohamidjojo bahwa wettelijk, sesuai dgn alat-alat bukti yang sah yang ditetapkan oleh undang dan negatief, oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang saja belum cukup untuk membuat hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim. Sedangkan menurut Mr. Kwee Oen Goan bahwa Hakim harus memakai alat-alat bukti yang sah, ditentukan oleh UU. Apabila Hakim tidak jakin tentang kesalahan terdakwa, maka ia tidak wajib menjatuhkan hukuman. Pasal 183 KUHAP Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 (1) Alat bukti yang sah, ialah
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Keterangan Saksi: (1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. (2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. (4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. (5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli. Penilaian thd Saksi:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya; Penilaian thd saksi yg tidak disumpah: meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Keterangan Ahli (ps.186-187) Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan; Surat (ps.187)
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Keterangan terdakwa (ps.189).
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Petunjuk (ps.188) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya, Sumber: keterangan saksi; surat; keterangan terdakwa. Penilaian petunjuk: • Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bidjaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
7. Beda Hukum Acara Pidana Dan Hukum Acara Perdata.
Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata. Dalam hukum acara perdata, dapat dilihat dalam berbagai peraturan Belanda dulu(misalnya; Het Herziene Inlandsh Reglement/HIR, RBG, RB,RO). Pembuktian dalam persidangan perkara perdata dilakukan oleh para pihak (Penggugat dan Tergugat). Asas pembagian beban pembuktian ini tercantum dalam pasal 163 HIR (ps. 283 Rbg, 1865 BW), yang berbunyi : “Barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”. Ini berarti bahwa kedua belah pihak, baik Penggugat maupun Tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama Penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya. Sedangkan Tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran bantahan Tergugat, demikian pula sebaliknya Tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh Penggugat. Kalau Penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukannya ia harus dikalahkan, sedangkan kalau Tergugat tidak dapat membuktikan bantahannya ia harus pula dikalahkan. Sedangkan Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981. Perbedaan pembuktian dalam perkara pidana adalah: hukum acara pidana bertujuan mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran sejati atau yang sesungguhnya, hakimnya bersifat aktif, hakim berkewajiban untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk membuktikan tuduhan kepada tertuduh, alat buktinya bisa berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. D. Kesimpulan Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981. Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana). Menurut pasal 184 KUHAP, alat bukti dalam perkara pidana bisa berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Hal-hal yang sudah diketahui umum, tidak perlu dibuktikan lagi.
No comments:
Post a Comment